Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan terdekat peserta didik akan selalu berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Pengaruh itu terkadang positif tetapi tidak jarang pula bersifat negative. Sebagai upaya sadar, pendidikan haruslah memperkuat dan mengembangkan pengaruh positif dan mengurangi pengaruh negative tersebut. Pengaruh positif diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai budaya masyarakat dan bangsa untuk menjadi sesuatu menjadi suatu kepribadian baru peserta didik. Dalam bahasa undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Jika dikaji lebih lanjut maka dunia pendidikan Indonesia tidak saja harus berlandaskan pada kebudayaan tetapi juga harus berhadapan dengan tugas harus mengembangkan berbagai budaya yang ada di tnah air dan menjadi bagian dari kehidupan peserta didik. Dalam realita sosial-budaya yang demikian maka pendidikan multikultural merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dihindari. Hasan (2006) mengungkapkan ada lima alasan mengapa pendidikan multikultural diperlukan yaitu :
2. Pendidikan Multikultural sebagai Pengembang Kurikulum
Pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.
3. Pendidikan Multikultural sebagai Solusi Ancaman Keberagaman
Kata kunci istilah multicultural adalah kebudayaan. Meskipun istilah itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan, tetapi tampaknya ada semacam kesepakatan bahwa kebudayaan merupakan bahasa, sejarah, kepercayaan, nilai moral, asal-usul geografis dan segara sesuatu yang khas dimilikioleh kelompok (Pradipto, 2005: 15). Kebudayaan tentu saja berbeda antara kelompok satu dengan yang lain dengan cirri khasnya masing-masing.
Sebenarnya keanekaragaman budaya yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia telah disadari dan dikenal sejak nenek moyang. Nilai-nilai luhur telah mewatak di antara anggota masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai moral ketimuran yang dapat dibanggakan. Adanya sikap gotong royong, saling menghargai satu sarna lain, mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan merupakan pola perilaku yang mendarah daging kala itu. Keanekaragaman budaya Indonesis kemudian dikukuhkan di dalam Undangundang Dasar 1945. Pemerintahan Orde baru bahkan menanamkan slogan Bhinneka Tunggal Ika dengan persepsi yang kurang tepal Keragaman yang pada hakekatnya perlu adanya pemahaman multikultural justru dibelokkan dengan munculnya monokultural. Keberagaman tersebut diharapkan tetap berada dalan satu keutuhan dan kesatuan. Untuk itu adanya keberagaman itu sendiri menjadi kabur. Dalam hal ini, ada tarik-menarik kekuatan monokulturalisme dan multikulturalisme dalam konteks pengelolaan negara. Kesatuan, di satu sisi diperlukan sebagai kekuatan dala pengelolaan negara dan sebagai identitas nasional. Keberagaman, di sisi yang lain dapat membentuk negara. Monokulturalisme muncul dari kebutuhan untuk mempersatukan budaya yang berbeda. Multikulturalisme justru semakin kuat dengan mengedepankan kepentingan masing-masing budaya lokal.
Pendidikan multikultural merupakan serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku dan arena yang secara resmi diformulasi melalui kurikulum, regulasi, metode pembelajaran, kemampuan guru, hubungan antar sekolah dan masyarakat dalam istilah multikulturalisme (Kusmaryani, 2006). Pendidikan yang mengedepankan isu keberagaman dalam masyarakat menjadi inti dari pendidikan multikultural. Pendidikan ini lebih menekankan pada penanaman moral dibandingkan dengan pola-pola pendidikan birokratis yang lebih mengorientasikan pada tampilan kecerdasan pikiran.
Pendidikan multikultural dipandang sebagai proses belajar altematif yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan lokal. Kebijakan otonomi pendidikan mendukung upaya yang mengedepankan kepentingan dan keberagaman lokal. Tantangan bagi pendidikan justru muncul ketika dihadapkan pada upaya mempertahankan keutuhan negara. Sekolah seringkali menjadi alat bagi dominansi otoritas nasional yang memikul beban untuk menjaga integrasi bangsa melalui pengajaran. Adanya kurikulum nasional dan standardisasi ujian merupakan contoh konkrit dari kasus tersebul Hal itu berangkat dari asumsi bahwa keberagaman harus tetap berada dalam keutuhan dan kesatuan, yang pada akhimya memunculkan monokulturalisme.
4. Pendidikan Multikultural sebagai Penanaman Moral
Dalam membentuk perilaku moral seseorang, proses-proses belajar memegang peranan penting. Untuk itu, pengaruh lingkungan sebagai tempat melakukan proses belajar sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral. Lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat ikut memberikan kontribusi yang pantas diperhitungkan. Lingkungan sekolah, terutama, menjadi institusi sentral yang diharapkan dapat memberikan pendidikan moral. Pada kenyataannya, ada semacam kecenderungan bahwa institusi sekolah terjebak dengan birokrasi persekolahan dan birokrasi kehidupan. Birokrasi tersebut melumpuhkan dan bahkan mematikan alam pikiran merdeka individu dan masyarakat organisasi. Pendidikan moral dan pembentukan moral tidak lagi menjadi komitmen. Orientasi dan perilaku moral dikesampingkan digantikan oleh kecerdasan pikiran, keahlian dan berbagai perilaku tampil di lapisan luar.
Dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan. Kusmaryani (2006) mengungkapkan sikap superioritas yang justru menghambat pemahaman akan keberagaman perlu dihilangkan. Hal ini seringkali terkait dengan kesukuan, ras, agama, jender dan sebagainya. Kelompok tertentu diharapkan tidak merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Untuk itu, kerja belajar kooperatif dan kolaboratif dikembangkan secara aktif dalam memberikan kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan tersebut. Kerja belajar seperti itu akan membiasakan untuk berinteraksi dengan kelompok lain yang memiliki perbedaan. Seseorang akan berupaya bagaimana menyelesaikan tugas-tugas belajar untuk mencapai tujuan yang sarna, meskipun dari kelompok yang berbeda-beda. Kondisi ini memaksa seseorang untuk lebih memahami kelompok lain maupun orang lain agar tujuan dapat tercapai dengan baik.
Kesadaran nilai kemanusiaan juga menjadi hal yang penting. Perlunya pemahaman akan adanya eksistensi manusia secara utuh. Memahami manusia dengan keberadaanya perlu menyadari bahwa manusia memiliki kemerdekaan yang perlu dihargai. Untuk itu, semua yang ada dalam diri manusia penting untuk dipahami ketika berinteraksi dengan manusia lainnya. Cara berpikir demikian akan memberikan konsekuensi munculnya perilaku interaktif yang positif. Perilaku tersebut seperti misalnya penghargaan terhadap orang lain, kesediaan untuk bergotong royong, tidak menghakimi orang lain, empati dan sebagainya. Perilaku moral yang demikian tampaknya perlu dijaga dan dilestarikan.